PALANGKA RAYA - Sudah dua tahun sejak Menteri Sofyan melontarkan pernyataan pertama sekali bahwa ditemukan Mafia Tanah di Indonesia hingga hari ini pernyataan yang sama selalu dilontarkan ke publik tanpa tindakan perbaikan sistem yang dampaknya bisa dirasakan masyarakat. Hingga hari ini sepertinya belum ada tindakan konkrit baik di level kebijakan pertanahan maupun Tata Kelola Lembaga dan Birokrasi untuk menertibkan administrasi tata kelola pertanahan di Indonesia. Sangat disayangkan di era disrupsi teknologi 5.0 dan Artificial Intelligence, negara dalam hal ini BPN masih berkutat di seputar permasalahan konflik lahan dan sertifikat ganda dimana barangnya sangat jelas masih dipijak di bumi.
Salah satu alasan dari pihak BPN jika terkait adanya konflik lahan dan sertifikat ganda adalah bahwa kewajiban BPN untuk mengadministrasikan permohonan warkah setiap warga negara demi hak azasi manusia. Namun belum ada sistem di BPN untuk mencegah (preventive action) dan mengurangi resiko masalah tersebut terjadi berulang dan sporadis di seluruh pelosok. Selain langkah - langkah pemulihan melalui pengadilan Tata Usaha Negara.
Membatalkan sertifikat meskipun secara terang benderang ada cacat administrasi adalah hal yang tabu bagi BPN misalnya.
Konflik lahan baik SHM hingga HGU masih terus saja terjadi. Seolah - olah pernyataan Menteri ATR/BPN bahwa mafia tanah menjadi sumber masalah pertanahan selesai sampai disitu saja.Konflik masyarakat dengan pemilik HGU yang masih marak bisa memicu konflik sosial dan juga menciptakan iklim investasi yang kurang kondusif bagi usaha investasi dan penanaman modal.
Baca juga:
Pembangunan Infrastruktur Penanda Bali Baru
|
Jika memang tidak mampu lagi merumuskan terobosan tata kelola administrasi pertanahan yang tertib dan rapih maka AWI mengusulkan kepada Presiden Jokowi supaya kewenangan menerbitkan sertifikat atas tanah dialihkan Ke Kantor Pajak (Kementerian Keuangan). Sehingga dengan demikian BPN sebaiknya fokus untuk melakukan tugas dan fungsi pencatatan saja terhadap sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Pajak.
Menurut AWI, terobosan ini memang butuh kajian dan studi lebih komprehensive, namun memang data dan fakta dari jejaring AWI demikian adanya. Jika kebijakan ini dilakukan oleh Presiden Jokowi, niscaya akan mengintegrasikan data base sertifikat tanah dengan Pajak Bumi dan Bangunan. Satu data sertifikat tanah dengan PBB sehingga dengan demikian juga akan mensinergikan rencana Ibu Menteri Sri Mulyani untuk mengintegrasikan KTP dengan NPWP.
Menurut Ganda, dengan pengalihan wewenang penerbitan sertifikat tanah ke Kantor Pajak akan mendatangkan hasil dan dampak nyata antara lain; ruang gerak permainan oknum-oknum spekulan dan mafia tanah akan dipersempit; potensi penggelapan aset-aset negara oleh mafia tanah juga akan semakin kecil; dan penerimaan negara dari PBB akan bisa dioptimalkan dan lain-lain.
Apalagi jika ditambahkan dengan terobosan alih nama sertifikat dilakukan semuanya satu pintu satu atap di Kantor Pajak. Pola transaksi atas Bumi dan Bangunan di kantor notaris selama ini sungguh membuka banyak ruang abu-abu bagi para oknum melakukan persekongkolan kejahatan moral (moral hazard) pungkas Ganda.